Sekitar 10 tahun yang lalu, tepatnya 31 Oktober 2011, dunia menyambut kelahiran "bayi tujuh miliar". Yup, pada hari itu penduduk dunia resmi bertambah dari 6 miliar menjadi 7 miliar jiwa. Sebuah angka yang fantastis bukan?
Namun hal tersebut tidak hanya diperingati dengan sebatas tiup lilin ataupun syukuran. Justru, sebenarnya fenomena tersebut mengandung suatu makna yang begitu dalam dan harus difikirkan secara serius:
Dibutuhkan waktu sekitar 200.000 ribu tahun untuk mencapai populasi 1 milyar, namun hanya perlu 200 tahun untuk meledak menjadi 7 miliar orang.
Dari sana, muncul suatu urgensi yang baru tentang kesejahteraan. Kita dituntut untuk memproduksi semua hal (pangan, energi, barang konsumen) dalam jumlah yang lebih banyak sekaligus mengefisiensikan penggunaannya.
Tentu selalu ada opportunity cost yang harus dibayar ketika memilih suatu keputusan bukan? Obsesi untuk mewujudkan impian tersebut rupanya harus dibayar mahal terutama dari perspektif alam dan lingkungan. Buktinya? Dalam 200 tahun terakhir, suhu bumi telah meningkat sekitar 1 derajat Celcius.
Profil kenaikan suhu global (sumber: dokumen Walhi) |
Spektrum suhu global (sumber: dokumen Walhi) |
"Ah cuma 1 derajat doang, itu mah kecil!"
Eiittsss kata siapa? Pada tahun 2015, sebuah konferensi internasional bernama Paris Climate Change Agreement yang dihadiri oleh 195 negara yang sepakat untuk mencegah kenaikan suhu global agar tidak melebihi 1,5 derajat Celcius.
Paris Agreement (Sumber Bounce Nation) |
Menurut jurnal Science Progress yang diterbitkan tahun 2019, akan ada banyak hal mengerikan jika suhu global naik melebihi 1,5 derajat Celcius:
- Peningkatan jumlah orang yang terdampak kekurangan air bersih sebesar 50%.
- Kehilangan terumbu karang sebanyak 70-90%. Terumbu karang merupakan elemen yang sangat vital bagi ekosistem laut sehingga kehilangannya berdampak signifikan terhadap makhluk hidup lainnya, termasuk manusia!
Fenomena pemutihan karang atau coral bleaching (kiri: normal, kanan: sudah pemutihan). sumber: vox |
- Terancamnya 18% serangga, termasuk di dalamnya 3 golongan besar serangga yang bertanggung jawab dalam proses penyerbukan. Penyerbukan adalah salah satu alasan mengapa tumbuhan bisa menghasilkan makanan untuk manusia. Tidak ada penyerbukan = jumlah makanan kita berkurang drastis!
- Kenaikan permukaan air laut setidaknya 10 cm. Kebanyakan kota metropolitan dunia dibangun dekat dari garis pantai sehingga terancam tenggelam! Jika benar-benar terjadi, akan ada migrasi besar-besaran ke kota terdekat. Kepadatan penduduk meningkat drastis, dan memicu berbagai permasalahan sosioekonomi seperti kelangkaan air, pangan, energi, hingga kemiskinan.
Umat manusia hanya memiliki waktu 12 tahun lagi untuk menata ulang berbagai aspek kehidupan demi mencegah kenaikan suhu global melebihi 1,5 derajat Celcius - Intergovermental Panel on Climate Change, United Nations (PBB).
Lantas, harus ngapain sih?
Restrukturisasi Kesadaran dan Paradigma
Meskipun pemanasan global dan degradasi lingkungan sudah ada di pelupuk mata, ironisnya masih banyak dari kita yang belum sadar utuh akan gentingnya permasalahan ini.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Rockay kepada 1.000 responden berusia 18-55 tahun di Amerika Serikat, hanya 34,2% yang merasa bahwa pemanasan global akan menjadi masalah bagi mereka sepanjang hidupnya. Selain itu, hanya 14,1% yang mengaku sering membicarakan topik terkait pemanasan global dengan keluarga dan temannya.
Apakah pemanasan global adalah masalah untukmu? (sumber Rockay) |
Seberapa sering kamu mengobrol seputar isu pemanasan global? (sumber: Rockay) |
Apakah kamu mengetahui tentang Paris Agreement? (sumber: Rockay) |
Meskipun lebih banyak yang belum sadar, namun akhir-akhir ini semakin banyak yang organisasi dan menyuarakan isu tentang lingkungan. Bahkan banyak pebisnis yang peduli dengan meluncurkan produk yang sejalan dengan prinsip keberlanjutan, contohnya adalah su-re.coffee.
Sebuah brand kopi Arabika milik perusahaan su-re.co ini bukan sekadar menyajikan kopi Arabika terbaik yang ditanam di tanah Bajawa Flores pada ketinggian 1.350 MDPL, namun juga menawarkan brand value yang luar biasa. Perusahaan turut berkontribusi terhadap aksi perbaikan iklim dengan menawarkan project energi terbaharukan, pupuk organik, serta edukasi perubahan iklim bagi para petani kopinya.
su-re.coffee (sumber: su-re.coffee) |
Kebaikan yang dieksekusi secara terfragmentasi akan jatuh tersungkur dan terlunta-lunta oleh kejahatan yang dilakukan secara sistematis.
Pada akhirnya, masing-masing dari kita hanya perlu mengubah diri kita sendiri.
Seni Memakmurkan, Bukan Mengeksploitasi
Terbentang di garis khatulistiwa, rasanya tidak berlebihan jika menganggap Indonesia amat beruntung. Di negeri yang bertajuk "Zamrud Khatulistiwa" ini, Tuhan menganugerahkan sumber daya alam yang sangat melimpah di tanah, laut, maupun udaranya. Setidaknya terdapat 115 hewan mamalia, 1.500 burung, 600 hewan reptilia, 270 hewan amphibia, hingga 38.000 jenis tumbuhan tingkat tinggi yang hidup damai di Bumi Pertiwi.
Tahukah kamu, bahwa Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara megabiodiversitas terbesar di dunia. Untuk dikatakan sebagai megabiodiversitas, suatu negara harus memiliki setidaknya 5.000 spesies tumbuhan dan memiliki ekosistem lautan. Betapa beruntungnya kita menjadi satu dari 17 negara yang memenuhi kriteria tersebut.
Tentu Tuhan tidak pernah sia-sia dalam menciptakan sesuatu. Semua keanekaragaman hayati dan sumber daya yang tersedia di alam, khususnya di negara kita, harus dikelola dengan bijak. Ini semua bukan untuk siapa-siapa kok, karena ini juga untuk kesejahteraan manusia sendiri.
Manusia adalah makhluk yang cerdas, namun sayangnya sekaligus ceroboh. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang berani untuk memikul amanah yang sangat berat, yaitu mengelola dan memakmurkan bumi beserta seisinya.
Kecerdasan yang diamalkan dengan semestinya akan menghantarkan kemakmuran bagi bumi dan seisinya, namun kebalikannya. Kecerobohan dan ketidakhati-hatian akan mengundang bencana alam yang dampaknya dirasakan banyak makhluk hidup. Apalagi di Indonesia, bencana alam rasanya sering sekali terjadi bukan?
Trend bencana alam di Indonesia (sumber: dokumen Walhi) |
Bicara sebagai putra-putri Indonesia, tugas kita tentu lebih spesifik lagi. Old but gold, pasal 33 ayat 3 di UUD 1945 mungkin sering kita dengar saat di bangku sekolah dulu. Semangat itulah yang senantiasa diwariskan oleh para bapak bangsa kita dalam membangun Indonesia yang maju dan berperadaban luhur.
Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. - Pasal 33 ayat 3, UUD 1945.
Ayat tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa semua sumber daya alam yang ada di Bumi Pertiwi harus dikelola oleh putera-puteri terbaik bangsa. Penyerahan kekayaan alam kepada pihak swasta maupun asing bisa sangat berbahaya, sebab lebih cenderung mencari keuntungan untuk golongan mereka saja.
Pengelolaan sumber alam dengan tangan dan kaki kita sendiri akan mempermudah kontrol agar tetap berada di koridor "pemakmuran" sehingga tidak bablas sampai tingkat eksploitasi tak bertanggung jawab. Investasi pada pengembangan sumber daya terbaharukan adalah langkah strategis yang harus diambil untuk menjamin keberlangsungan sumber daya hingga anak cucu kita.
Mari tumbuhkan tekad untuk menjaga dan mempertahankan apa-apa yang kita miliki... Apa-apa yang berharga untuk kita.
Revolusi Sistem Ekonomi demi Mendukung Kehidupan yang Berkelanjutan
Berbagai fenomena degradasi lingkungan yang terjadi sebenarnya merupakan hasil dari kecarutmarutan berbagai isu lain, mulai dari isu ekonomi, sosial, budaya, hingga politik dan kebijakan. Untuk menyelesaikan sebuah problematika yang sangat kompleks, kita bisa mulai menyelesaikannya dari berbagai permasalahan kecil yang menyusunnya.
Pada awalnya, saya tidak begitu menyadari bahwa isu-isu lingkungan sebenarnya sangat erat dengan ekonomi. Saya hanya menganggap bahwa isu lingkungan muncul semata-mata dari ketamakan segelintir oknum yang tidak bertanggung jawab.
Itu memang benar, tapi masalahnya bukan hanya itu.
Setelah mengikuti sebuah gathering eco-blogger yang diadakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), serta Hutan Itu Indonesia, saya mengalami sebuah paradigm shifting yang begitu signifikan tentang bagaimana tatanan ekonomi benar-benar berdampak terhadap kondisi alam dan lingkungan.
Jika bicara tentang ekonomi, selama ini alam bawah sadar kita sudah tertanamkan prinsip "mau menang sendiri". Ya, kita pasti masih ingat betul bahwa konsep ekonomi klasik tidak jauh dari:
"Mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan atau modal sekecil-kecilnya"
Kalau diartikan secara tepat, sebenarnya tidak ada yang salah. Namun maknanya kerap kali berubah menjadi:
"Mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang tidak merugikan secara langsung."
Contohnya seperti gaji buruh yang tidak dibayar berbulan-bulan, penggunaan bahan baku dari pasar gelap atau illegal, hingga mengabaikan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Semua itu dilakukan demi mencapai pertumbuhan ekonomi atau economics growth.
Menjawab keresahan tersebut, seorang ekonom dari Universitas Harvard bernama Kate Raworth mengusulkan suatu sistem ekonomi baru bernama Doughnut Economics Theory. Sesuai namanya, teori ekonomi ini berbentuk dua lingkaran yang berbeda ukuran, menjadikannya terlihat seperti donat.
Teori ekonomi ini tidak hanya berfokus kepada pertumbuhan ekonomi sebagai variabel tunggal, tetapi juga mempertimbangkan kebutuhan hidup manusia serta biosfer bumi secara lebih komprehensif.
Lingkaran bagian dalam merupakan area di mana kehidupan manusia dipenuhi kekurangan, sedangkan lingkaran bagian luar adalah batas-batas lingkungan. Tugas kita adalah membawa sebanyak-banyaknya penduduk bumi ke dalam donat (area hijau) serta mencegah terpeleset ke lingkaran dalam atau menembak ke lingkaran luar.
Merombak Konsep Kesejahteraan
Sebelumnya kita sudah mengetahui bahwa sistem ekonomi yang kurang tepat dapat berdampak kepada pemanasan global dan perubahan iklim. Ternyata masih ada yang erat kaitannya dengan ekonomi, yaitu tentang kesejahteraan.
Seringkali deforestasi dan pembakaran hutan dilakukan dengan dalih untuk meningkatkan kesejahteraan negara. Yup, tapi jangan kebablasan!
Indonesia sebenarnya memiliki alam yang kaya raya. Kita bisa menjual hasil alam yang melimpah dan menjadi kaya dengan mudah, tapi rusaknya alam pun juga mudah. Hal tersebut karena harga komoditas mentah cenderung rendah. Dampaknya, kita harus menanam dan memproduksi lebih banyak, atau dengan kata lain membuka hutan.
Lain ceritanya jika kita fokus berinvestasi terhadap teknologi dan industri hilir (downstream). Produk-produk olahan akan memiliki nilai jual yang naik berkali-kali lipat. Untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang sama, akan dibutuhkan bahan baku yang lebih sedikit dan laju deforestasi dapat lebih dikendalikan.
Pemerintah dapat mempertimbangkan UMKM yang dikembangkan bersama masyarakat adat atau lokal sebagai ujung tombak dalam penyediaan bahan baku. Hal tersebut sangat strategis, mengingat UMKM menyerap hampir 97% total tenaga kerja di Indonesia.
Agregasi, pendampingan, dan permodalan UMKM dan masyarakat adat sejenis ke dalam suatu sistem yang terintegrasi tidak hanya memberikan kesejahteraan, melainkan juga lebih mampu dalam menjaga alam. Karena bagi mereka, hutan dan alam adalah tempat menggantungkan hidup sehingga harus dijaga dengan hati-hati.
Penutup...
"Duhhh, yang punya blog ini kok banyak omong. Actionnya mana nih, jangan cuma omong doang!"
Bener banget, saya memang cuma nulis. Namun, tulisan ini adalah bukti nyata action saya lho, hehe.
Saya sangat berharap, di luar sana akan ada orang yang membaca. Syukur-syukur kalau sampai hatinya tergugah dan melakukan suatu kebaikan, minimal pada level individu seperti menerapkan pola hidup ramah lingkungan (green lifestyle). Itulah gunanya blogger, untuk menginspirasi orang lain ke arah kebaikan. Benar bukan?
Dan tentu, saya sangat berharap bisa berkontribusi langsung sebagai pemimpin masa depan dalam cakupan yang lebih luas lagi. Sangat berharap Indonesia memiliki putera-puteri terbaik yang senantiasa berkontribusi untuk mengelola bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk kesejahteraan segenap tumpah darah Bumi Pertiwi.
~ Menuju Bonus Demografi 2030 dan Indonesia Maju 2045.
sumber: Kabupaten Lestari |
Tulisan ini dipersembahkan untuk menyambut Hari Bumi yang akan jatuh pada 22 April. #EcoBloggerSquad