Ketika berbicara media kampanye untuk menjaga alam, yang terbayang di benak kita adalah tulisan, video, diskusi, hingga event publik.
Berbagai media tersebut sudah terbukti sangat powerful untuk menyampaikan hikmah dan pesan kebijaksanaan, sebab mudah dipahami dan mampu menjangkau audiens yang massif.
Namun, sesuai peribahasa "banyak jalan menuju Roma", sebenarnya masih ada cara lain lho!
Misalnya saja, seniman dan penggelut industri kreatif dapat saling berkolaborasi untuk menciptakan karya seni dan produk industri kreatif yang memuat ajakan menjaga kelestarian alam.
Hal tersebut persis seperti yang dilakukan oleh Laleilmanino ketika merilis single terbarunya yang berjudul "Dengar Alam Bernyanyi". Single tersebut dirilis bertepatan pada Hari Bumi Sedunia yang jatuh pada 22 April 2022.
Laleilmanino sebenarnya bukanlah grup musik, melainkan produser dan pencipta lagu yang digawangi oleh Lale (gitaris Maliq & D’Essentials), Ilman (keyboardist Maliq & D’Essentials), serta Nino (vokalis RAN).
Trio ini memiliki basis penggemarnya tersendiri di blantika musik Indonesia.
Mereka terbilang sangat produktif — menciptakan 100+ lagu dan memproduseri 3 album studio untuk penyanyi lain, dan menerima banyak penghargaan bergengsi sejak pertama kali dibentuk pada tahun 2013.
Lagu "Dengar Alam Bernyanyi" bahkan terpilih menjadi lagu tema resmi (official theme song) untuk event Y20.
Sebagai bagian dari event G20 yang tahun ini dituanrumahi oleh Indonesia, Y20 merupakan wadah dialog pemuda negara G20 untuk memberikan solusi bagi permasalahan dunia.
Dalam penggarapannya, Laleilmanino berkolaborasi dengan artis dan musisi lain yaitu Chicco Jerikho, HIVI! dan Sheila Dara.
Oleh karenanya, single ini tidak hanya dinikmati oleh penggemar Laleilmanino saja, melainkan juga mampu menarik basis penggemar dari artis kolaborator.
Secara musikalitas, lagu "Dengar Alam Bernyanyi" mengusung genre pop yang dibalut dengan chord progression ala-ala musik jazz.
Di Indonesia, genre musik seperti ini baru ngehits sejak 10 tahun terakhir, sehingga masih terasa sangat fresh dan populer di kalangan anak muda.
Bagi saya pribadi, sangat jelas bahwa aransemen lagu ini memadukan warna bermusik Maliq & D’Essentials, RAN, dan HIVI! ke dalam satu masterpiece.
Dari segi lirik, pesan yang disampaikan begitu mendalam.
Leilmanino sendiri mengaku bahwa mereka menciptakan lirik lagu ini di tengah hutan, tepatnya kawasan Hutan Wisata Situ Gunung, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat.
Lirik lagu ini juga merupakan karya Laleilmanino yang pertama kali tercipta di luar studio musik.
Pesan utama yang disampaikan single ini merupakan ajakan untuk menjaga alam — hamparan hutan yang hijau teduh, serta laut dan langit yang warna birunya membentang sampai ke horizon.
Semuanya adalah anugerah sekaligus titipan dari Tuhan untuk kita, dan sudah sepantasnya kita juga yang harus proaktif untuk menjaganya.
Namun terkadang, kita terdistraksi oleh begitu banyak hal lain yang membuat kita lupa akan amanah untuk menjaga alam.
Dalam lagu ini, penulis lagu mencoba menggambarkan entitas distraksi tersebut dengan cara yang amat relate dengan anak muda.
Saya tidak tahu persis apa alasannya, namun sepertinya agar pesannya dapat diterima target audiens.
Lirik "Simpanlah gawaimu, hirup dunia..." menggunakan kata "gawai" untuk menganalogikan bentuk distraksi.
Dan dalam kenyataannya, gawai memang salah satu bentuk distraksi yang amat kuat...
...Begitu kuatnya hingga mampu menjadi candu yang membuat kita lalai — tidak hanya dalam menjaga alam — namun juga dalam berbagai dimensi kehidupan.
Jika saja kita mau berusaha untuk menyingkirkan distraksi tersebut, sejatinya kita akan lebih peka terhadap sinyal yang diberikan alam...
...Sinyal bahwa mereka menginginkan kita untuk menjaga mereka. Bukan karena mereka butuh kita, namun justru kitalah yang membutuhkan mereka! It's a one-way relationship.
Manusia jelas membutuhkan alam, dan hal tersebut adalah kebenaran absolut. Namun apa buktinya alam tidak membutuhkan kita?
Bumi kita sudah berusia 4,6 miliar tahun, sedangkan peradaban Sumeria di Mesopotamia yang dipercaya sebagai peradaban tertua baru muncul 5.000 tahun yang lalu.
Artinya, bumi sudah eksis bahkan sebelum manusia ada, dan bisa saja terus ada meskipun manusia tidak ada.
Bahkan di saat alam sudah rusak parah seperti sekarang dan semua manusia tiba-tiba menghilang, alam tetap bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Tanpa. Bantuan. Manusia.
Apa buktinya?
Lihat saja waktu COVID-19 sedang ganas-ganasnya. Ketika berbagai kota dan negara menerapkan kebijakan lockdown, terjadi peningkatan kualitas udara secara signifikan.
Hasil penelitian ilmiah menunjukkan bahwa lockdown selama lima bulan — dari Januari sampai Mei 2020 — telah menurunkan cemaran nitrogen dioksida (NO2) dan particulate matter 2,5 (PM 2,5) berturut-turut sebesar 60% dan 31% di 34 negara. Bahkan lapisan ozon di atmosfer pun turut membaik!
Penurunan kadar nitrogen dioksida (A), peningkatan ozon (B), dan penurunan kadar PM 2,5 (C) selama lock down Januari - Mei 2020 (Sumber: Jurnal ilmiah PNAS) |
See? Nature always finds a way, but we're not. Lantas, apa yang menjadikan kita angkuh dan acuh?
Oleh karenanya, yuk kita bahu-membahu menjaga alam. Bukan hanya kewajiban NGO dan pemerintah saja, namun juga kita semua sesuai kemampuan masing-masing.
Faktanya, hanya dengan mendengarkan lagu "Dengar Alam Bernyanyi", kamu sudah termasuk berkontribusi lho!
...Karena sebagian dari royalti lagu tersebut akan disumbangkan untuk konservasi dan restorasi hutan adat di Kalimantan.
Sampai tulisan ini dibuat (30/7/22), lagu "Dengar Alam Bernyanyi" telah didengarkan sebanyak 224.229 kali di Spotify dan ditonton 223,888 kali di YouTube.
Berkontribusi untuk alam tidak pernah semudah dan semenyenangkan ini, bukan?
#EcoBloggerSquad
Referensi Artikel
- Kompas
- Antara News
- Gambar ilustrasi dari channel YouTube Laleilmanino