{tocify}
Akhir-akhir ini, sering kali kuden gar kabar pernikahan teman. Ada yang mengundang lewat WhatsApp, atau sekadar mengunggah post atau story Instagram saja. Ahh, apakah sudah setua ini usiaku?
Padahal, rasanya baru kemarin aku kegirangan bermain kolam bola di Dufan, sambil sesekali iseng melempar bola plastik itu ke Alfi — teman sebaya depan rumahku.
Usia yang sudah melebihi dua puluh tahun "memaksa" generasiku untuk menjalani kehidupan ala orang dewasa. Dahulu, kami masih ditanggung orang tua. Sekarang, kami harus bertanggung jawab untuk menggerakkan roda kehidupan. Beribadah, berkarya, lalu berpulang.
Akan tiba masa di mana kami pun akan mewariskan kehidupan ke generasi mendatang, persis seperti kakek-nenek mewarisi ayah-bunda, kemudian ayah-bunda mewarisi kami. Teruslah demikian, sampai membentuk rantai generasi yang melewati batasan ruang dan waktu.
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama. Hal yang paling membekas dari leluhur kita adalah apa-apa saja yang mereka tinggalkan — salah satunya adalah alam dan semua unsur pendukung kehidupan.
Para leluhur mewariskan bumi dalam keadaan prima. Tidak adil jika kita tak berupaya sama untuk generasi selanjutnya, karena hal tersebut sama saja membiarkan mereka menanggung dampak krisis iklim yang kita tinggalkan.
Dari sanalah, lahir konsep bernama climate justice atau keadilan iklim.
Mengenal Konsep Keadilan Iklim
Keadilan iklim adalah konsep yang mengusulkan "pembagian beban" yang dihasilkan akibat dampak perubahan iklim. "Beban" tersebut bukan hanya ditanggung oleh segelintir generasi saja, melainkan harus dibagi adil secara lintas generasi.
Mereka yang skeptis mungkin tak begitu peduli dengan dampak perubahan iklim yang kelak mencapai puncaknya pada puluhan atau ratusan tahun ke depan. Mereka mungkin berpikir, "Ah biarin aja, paling kita sudah meninggal".
Namun, sadarkah bahwa hal tersebut sama saja dengan membiarkan ketidakadilan? Sebab, kita membiarkan generasi selanjutnya menanggung hasil perbuatan kita, padahal mereka tidak tahu apa-apa sekaligus tidak bisa berbuat apapun. Lain orang yang makan nangka, lain orang yang kena getahnya.
Oleh karena itu, konsep keadilan iklim menuntut peranan dari generasi pendahulu untuk menjaga lingkungan, sehingga dapat diwariskan dalam keadaan yang baik.
Urgensi Keadilan Iklim
Tak dapat dipungkiri, krisis iklim ada di depan mata. Masifnya penggunaan sumber energi tinggi emisi karbon dan minimnya pemanfaatan sumber energi terbarukan rendah karbon selama 200 tahun terakhir telah mengakibatkan fenomena pemanasan global. Suhu bumi telah naik sebesar 1,1°C dibanding sebelum masa revolusi industri.
Mungkin 1,1°C terdengar kecil, tetapi percayalah realitanya tidak seperti itu. Justru, angka tersebut adalah sinyal peringatan. Kalau di permainan sepak bola, mungkin bisa disebut injury time.
Proyeksi kenaikan suhu global tahun 2100 berdasarkan lima skenario emisi karbon (sumber: Climate Action Tracker) |
Menurut Climate Action Tracker, setidaknya ada lima skenario perubahan suhu bumi.
Skenario pertama, seandainya kita sama sekali tak melakukan perubahan apapun.
Kenaikan suhu bumi diperkirakan akan mencapai 2,7-2,9°C pada tahun 2100 mendatang.
Dampaknya? Distopia apokaliptik dengan kerusakan iklim global yang tidak bisa diperbaiki (irreversible).
Skenario kedua, jika seluruh negara menerapkan Nationally Determined Contributions (NDC) 2030.
Dengan menerapkan NDC 2030, emisi karbon tahunan global diperkirakan bisa turun menjadi sekitar 23 gigaton CO2 ekuivalen pada tahun 2100 dan membuat kenaikan suhu global menjadi 2,4°C.
Skenario ketiga, jika Net Zero Emission (NZE) bisa tercapai.
Mencapai NZE bisa menurunkan emisi karbon tahunan global menjadi sekitar 13 gigaton CO2 ekuivalen pada tahun 2100 sekaligus membatasi kenaikan suhu global di angka 2°C pada tahun 2100.
Skenario keempat, jika NZE berhasil tercapai di 140 negara.
Kontribusi masif 140 negara dalam mencapai NZE 2050 mampu membatasi kenaikan suhu bumi sebesar 1,8°C pada akhir abad ke-21.
Skenario kelima, jika emisi karbon tahunan global bisa diturunkan menjadi negatif pada tahun 2100.
Dengan menurunkan emisi karbon tahunan global menjadi -10 giga ton CO2 ekuivalen pada tahun 2100, kenaikan suhu global bisa dibatasi pada 1,5°C. Angka tersebut diperkirakan sama seperti kondisi pada tahun 2030.
Diantara kelima skenario tersebut, kita tentu menginginkan skenario ketiga, keempat, atau kelima. Ketiganya menghasilkan kenaikan suhu global ≤ 2°C. Kenaikan 2°C saja sudah berdampak buruk, apalagi kalau lebih dari itu?!
Menurut WWF, setidaknya ada sembilan dampak perubahan iklim yang dapat terjadi jika suhu bumi naik sebesar 2°C pada tahun 2100.
Dampak krisis iklim jika kenaikan suhu bumi mencapai 2°C (sumber: WWF) |
- Sebanyak 410 juta penduduk kota secara global mengalami kekeringan parah.
- Sebanyak 2,7 miliar orang terdampak oleh gelombang panas ekstrim setiap lima tahun sekali.
- Sebanyak 49 juta penduduk terdampak kenaikan permukaan air laut sebesar 56 cm.
- Risiko banjir meningkat sebesar 170%.
- Sebanyak >99% populasi terumbu karang global mati akibat mengalami pemutihan karang.
- Sebanyak 18% serangga, 16% tumbuhan, dan 8% hewan bertulang belakang ikut terdampak.
- Terjadi musim panas tanpa es di lautan Arktik setiap 10 tahun sekali.
- Turnunnya produktivitas lautan secara signifikan ketimbang jika kenaikan suhu hanya sebesar 1,5°C.
- Turunnya produktivitas dan kandungan nutrisi tanaman pangan di daerah tropis.
Untuk mencegah agar kenaikan suhu bumi tidak melampaui 2°C, bahkan sebisa mungkin tetap di bawah 1,5°C, kita membutuhkan tindakan nyata dari generasi yang hidup saat ini.
Keadilan Iklim Sebenarnya untuk Siapa?
Mari bayangkan 50 tahun ke depan. Generasi muda yang hidup saat ini sudah memasuki usia senja. Kita sudah tua, lemah, dan penuh kepayahan.
Saat itu, tubuh kita sudah tak sekuat dulu. Kita tak lagi mampu untuk memimpin perubahan. Di sisi lain, generasi muda yang hidup saat itu akan berjuang mati-matian, meskipun besar kemungkinannya mereka tidak bisa mengubah apapun. Ya, sudah sangat terlambat untuk memikirkan perubahan ketika kita sudah hidup di tahun 2100.
Tanpa implementasi keadilan iklim, sembilan malapetaka itu akan dirasakan oleh kita yang sudah tua, serta generasi penerus kita.
Saat itu terjadi, saya tak bisa membayangkan penyesalan yang dirasakan oleh generasi kita yang masih hidup. Kita pasti akan menyesal, sekaligus merasa tak berguna karena tak lagi mampu merubah apapun.
Jadi, yuk kita bergerak bersama! Mumpung diri ini masih muda, kuat, dan tajam pikirannya.
Kita dukung dan kawal semua kebijakan yang pro terhadap lingkungan, seperti transisi energi, perlindungan hak masyarakat hukum adat, serta penggunaan sumber energi terbarukan yang rendah karbon.
Kita tolak dan ramaikan kebijakan yang kontra terhadap lingkungan.
Kita belajar, bekerja, dan berkarya sebaik mungkin agar bisa memimpin perubahan.
Referensi gambar
Freepik lisensi gratis
#EcoBloggerSquad